Pagi yang begitu menawan. Bulir bulir embun masih terasa sambutannya yang lembut. Kunikmati anugerah Sang Maha Penguasa, Sang Maha Penentu nasib hamba-hamba-Nya.
Aku hanya bisa tersenyum dan sedikit menuangkan air kesedihan. Tak bisa kutampahkan semuanya karena aku tau tak layak bagiku untuk membubazirkan segala hasil Maha Karya-Nya.
Harapan untuk menggapai beasiswa kembali pupus. Entah kenapa, dari S1 aku tak pernah sekalipun lolos beasiswa yang aku dambakan. Aku bahkan sering merasa iri ketika melihat teman-temanku yang hebat bisa meraih beasiswa yang ia harap. Tak hanya satu beassiwa yang mereka kantongi, bahkan lebih dari itu.
Aku tak tau, mungkin itu adalah rizeki yang Allah turahkan untuk mereka. Allah memberi mereka kemudahan untuk mendapatkan itu semua.
Sementara aku, tak satupun beasiswa kudapat. Hanya beasiswa sendiri, beasiswa yang kukais dari bulir-bulir perjuangan. Kubuka berbagai macam bisnis demi menempuh jenjang studiku.
Astagfirullahaladzim…
Kenapa aku menjadi lemah seperti ini?
Harusnya aku bersyukur karena Allah sangat menyayangiku
Bukankah sudah lebih dari cukup bagi seorang anak penambang pasir & penjual sayur keliling seperti aku bisa merasakan dunia Master of Economics. Bukankah sudah cukup bagimu Allah telah member waktu untuk bertemu dengan para ahli ilmu? Bukankah sudah cukup bagimu duduk bersama orang-orang itu, duduk dan membincangkan ilmu yang begitu kau cintai? Bukankah sudah cukup kau merasakan nikmatnya dunia akademisi, sementara banyak dari temanmu yang tidak merasakannya meski mereka dari golongan orang berada?
Jangan pernah merasa tidak adil.
Allah sungguh Maha Adil
Allah tidak buta
Allah tidak tuli
Allah tidak bodoh
Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik buatmua
Sabar…
Sabar hai jiwa kerdil
Karena hanya dengan sabar yang diikuti keikhlasan, kamu akan menang.
Bukankah kamu sendiri yang selalu bilang di hadapan para mutarabimu
Sukses itu relative
Sukses itu bukan harta & kesenangan duniawi
Sukses itu bukan dengan banyaknya gelar yang kita sandang
Sukses itu bukan dengan banyaknya penghargaan manusia yang kau koleksi
Bukan…
Bukan itu semua
Bukankah kau telah membuat parameter2 kesuksesanmu sendiri
Bukankah kau telah cukup senang ketika Allah telah membawamu kembali ke dunia dakwah
Bukankah kau telah cukup senang ketika Allah menyelamatkan kamu dari bahaya dunia pemuda
Bukankah kau telah cukup senang ketika kamu tau bahwa Allah sungguh mmencintaimu
Jangan cengeng hai jiwa pengecut
Jangan bersedih ketika kamu dihardik manusia
Jangan bersedih ketika yang menolak kamu itu adalah makhluk
Jangan bersedih kawan
Bersedihlah ketika Allah membiarkan kamu sendiri
Sendiri dengan kesenanganmu
Emmm
Aku jadi teringat dengan ucap salah seorang kawan
“aku melihat kamu ini selalu menderita”
“lalu kapan aku melihatmu bahagia?”
Dalam hati kecilku berkata
“sungguh, saat ini aku sangat bahagia”
“lagipula, dunia ini bukanlah tempat untuk berbahagia”
“dunia ini tempat kita diuji, ujian yang tiada henti”
“lalu kapan kita harus berbahagia?”
“ya, ketika kita sudah lulus semua ujian itu?”
“lalu kapan masa itu tiba?”
“ketika malaikat maut menjemput dalam masa sujudmu”
---)|(---