Novel “Pengikat Surga”
Bab ke-50
“Akhirnya Benang Terurai”
Tatapannya begitu lembut pada wanita yang diidam-idamkannya. Kelembutan yang hanya aku lihat jika ia menatap wanita itu. Ia mengaguminya sejak wanita itu masih terikat pernikahan dengan lelaki hebat lainnya. Gelora conta selalu jelas terlihat dari tingkahnya, dari samara-samar gumam ayah anak-anakku ini bahwa dia harus memilikinya.
Gelora cinta yang tumbuh jauh sebelum ayah Abdullah, Urwah dan Mundzir terpesona dengan puisi-puisi kematian kakakku dilantunkan wanita idaman penuh pesona. Wanita itu pernah menjadi kakak iparku dan kini ia menjadi maduku.
Bagaimanakah aku dapat bersikap yang terbaik pada suamiku? Api cemburu kini membakarku hingga aku merasa bahwa mahligai cintaku dengannya tidaklah semenggelegar semangat kami memperjuangkan tauhid.
Pernikahan kami adalah komitmen kokok, ikatan penyangga dakwah. Selalu ada untaian kekaguman yang aku miliki untuknya. Kelebatan-kelebatan peristiwa lampau adalah kenangan mendalam yang mengokohkan kekagumanku. Aku tak akan bisa membencinya.
Ya, sekarang aku telah mencapai tahapan itu bahwa aku tak akan pernah bisa membencinya.
***
Saat aku duduk di tepi jendela, membayangkan kebahagiaan Ruqayyah dengan Utsman sang pemilik dua cahaya, bayangan itu aku tepis kuat-kuat. Aku tak boleh membandingkan suamiku dengan siapapun. Membandingkan ia dengan lelaki hebat manapun sama saja dengan merusak semuanya.
Ketakutanku akan rusaknya kenangan-kenangan yang teramat indah bersamanya, membuatku berpikir inilah saat terbaik menceritakan kepahlawanannya.
Ada atau tidak ada kesalahan yang dibuatnya, Bunda Shafiyyah mengatakan banyak hal dengan pukulan. Jika ia menangis karena kesakitan, Rasulullah akan membelainya penuh kasih, merawat luka-luka pukulan itu hingga sembuh.
Tetapi jika orang-orang mencela Bunda Shafiyyah karena caranya mendidiknya, ia membela bundanya. Ia tak pernah berhenti membela bundanya. Ia selalu berkata, ”Bundaku mencintaiku. Ini bukan pukulan kebencian. Bukan pukulan kejahatan. Bundaku ingin aku menjadi orang yang kuat, tidak cengeng”. Maka berderailah Bunda Shafiyyah mendengar pembelaan putra terkasihnya. Memeluknya dengan penuh cinta.
Pukulan-pukulan itu terhenti tatkala Bunda Shafiyyah dibuat terpana oleh keberaniannya. Pedang terhunus di leher Abu Jahl yang tiada henti menyakiti Rasul dan pengikutnya. Ialah yang pertama kali menghunus pedang membela kebebasan berkeyakinan. Membela tauhid. Ia yang masih sangat belia menyatakan dengan lantangnya. ”Siapa yang berani menyakiti Rasulullah harus menghadapiku. Siapa yang tak memberi kebebasan menjalankan ibadah harus melangkahi mayatku”. Ia adalah Hawari Rasulullah, sahabat setia terkasih.
Ayahku mengaguminya. Bakat berniaga juga sangat menonjol darinya. Ayahku tak perlu bersusah payah menularkan kepiawaian berdagang padanya. ”Ia berjiwa pedagang tulen”. Bakat yang boleh jadi mengalir dalam klan Khuwailid. Ayahnya, Al ’Awwam Ibn Khuwailid, adalah saudara kandung Khadijah, Sang Wanita Suci, konglomerat ternama Mekkah.
Aku melihat binar ketulusan dan perjuangan dari matanya. Az Zubayr, suamiku, memperlakukan aku dengan sangat baik. Doa keberkahan atas pernikahan kami benar-benar mujarab. Aku merasakan hidup penuh keberkahan dengannya. Kami dapat berdiskusi banyak hal, mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an bersama-sama.
Aku ingat di malam itu, kami membincang strategi melakukan hijrah bersamanya dan ibunya. Perbincangan menarik yang semakin memperlihatkan kecerdasannya dalam berstrategi. Bincang yang semakin menegaskan keperkasaannya. Perbincangan yang memantik gelora dasyat dalam diriku untuknya. Gelora yang dengannya terlahir Abdullah.
”Ah, Zubayr, kau memberikan padaku segalanya. Menanamkan benih-benih hebat pejuang tauhid. Mengokohkanku dengan lakon-lakon pengorbanan tulus dalam setiap desah nafasmu. Kau memberikan segalanya. Kecuali cinta yang bergelora. Az, Zubayr, suamiku, jenis cinta apakah yang kau miliki untukku?”
Dalam kecamuk pertempuran Badr, aku mendekati medan Badr. Sosokmu yang lincah di medan tempur mudah dikenali. Ketika aku menyelasari medan Badr semakin ke barat, aku kembali melihat sosokmu dengan sangat jelas. Ketika aku menaiki bebatuan yang lebih tinggi, aku melihat puluhan pria yang bertempur laksana engkau. Bagaimana mungkin? Aku menatap langit, ada cahaya terang benderang turun ke medan Badr semakin jelas dan semakin jelas. Tatkala cahaya itu menyentuh bumi, ia menjadi berwujud manusia, cahaya itu menjadi berwajah engkau. Ada puluhan malaikat dalam medan Badr yang menyerupaimu. Suamiku, lelaki malaikat....
Suatu pagi, beberapa saat setelah musibah pertempuran Uhud, Aisyah mengetuk pintu rumahku dengan sangat bersemangat.
”Asma, wahai wanita bersabuk dari surga, wahai putri ayahku, dengarkanlah ayat ini!
”Mereka amat girang dengan nikmat dari Allah dan karunia-Nya. Sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang beriman itu, yaitu mereka yang dengan sigap melaksanakan perintah Allah dan Rasul, padahal baru saja mereka ditimpa luka mendalam (di perang Uhud). Bagi mereka yang telah melakukan yang terbaik dan bertaqwa ada pahala yang amat besar....”(Ali Imran 172:178)
Aisyah mendekatkan bibirnya di telingaku. Membisikkan penuh cinta kalimat sakti. ”Suamimu termasuk mereka! Mereka yang akan selalu girang dan bahagia....”
Peristiwa Uhud berkelebat hebat. Aku mengingatnya. Shafiyyah, sang bunda tengah memandangi jasad singa Allah, Hamzah, yang dadanya terkoyak, ketika Rasulullah memerintahkan, ”Kejar pasukan Mekkah!” Saat itu tak ada seorangpun yang bebas dari luka tebasan pedang. Energi terkuras habis. Sebagian, termasuk engkau, terkuras energi karena mati-matian melindungi Rasulullah. Sebagian lain kehabisan energi karena rumor syahidnya Rasulullah. Rasulullah kembali berkata. ”Siapa yang akan pergi menjejaki pasukan Mekkah?” Suamiku berdiri tegak bersama tujuh puluh orang lainnya. Sebelum ia pergi bersama pasukan, aku mendekatinya. Membalut luka tangan kanannya.
”Oh, Zubayr, suamiku, engkau lelaki yang sepak terjangmu dibincang kitab dari langit. Engkau termasuk lelaki yang dibincang Al-Qur’an”.
***
Saat indah duduk di tepi jendela, mengenang lakon-lakon perjuangannya yang mewarnai dan membentuk hidupku, kuakhiri dengan suara terbukanya pintu kamarku. Aku bangkit dari dudukku. Ia datang. Tanpa senyum.
Beberapa minggu ini akau tak dapat berbincang baik dengannya. Suasana antara aku, ia, dan wanita idamannya, yang kini telah dalam genggamannya, sungguh memburuk, sangat memburuk. Api cemburu amat membakarku. Aku tidak bisa tidak bertanya padanya jenis cinta apa yang ia punya untukku. Aku bertanya mengapa tatapannya begitu lembut untuk Atikah Bint Zaid sang wanita idaman dan tidak ada tatapan seperti itu untukku. Aku bertanya tentang aku di hatinya. Pertanyaan yang mengusiknya. Ia tidak suka aku bertanya tentang itu semua.
Dan kini ia datang tanpa senyum. Aku menatap dalam ke matanya. Aku mebaca apa keputusannya. Abdullah putra suungku datang. Aku langsung menjerit memanggilnya. Suamiku Zubayr Ibn Awwam mengangkat suara.
”Abdullah, jika kau masuk ke kamar ini maka aku akan melepaskan ibumu!”
”Bagaimana mungkin ayah membebankan suatu rasa bersalah padaku? Bukankah ayah tetap mengurai benang yang ayah pintal dengan ibunda meski aku tak masuk ke dalam kamar?”
Az Zubayr lalu mengizinkan Abdullah masuk. Abdullah langsung mendekatiku dan menggenggam erat tanganku ketika aku mendengar lelaki yang telah hidup bersamaku 28 tahun lamanya, lelaki yang aku kagumi, lelaki sahabat setia Rasul, lelaki malaikat, lelaki yang dikabari surga, lelaki yang aku amat mencintainya, lelaki yang aku tak akan pernah bisa membencinya itu berkata padaku:
”Aku menceraikanmu.”